Matahari, bintang yang memberi kehidupan bagi Bumi, diperkirakan berusia sekitar 4,6 miliar tahun. Para ilmuwan memperkirakan bahwa dalam waktu sekitar 10 miliar tahun lagi, Matahari akan kehabisan energi dan mati. Proses kematiannya akan berlangsung sangat dramatis, mempengaruhi seluruh tata surya, termasuk Bumi.
Matahari yang Memanggang Tata Surya
Matahari tidak akan mati dengan tenang. Seperti bintang-bintang lainnya, ia akan melalui serangkaian perubahan ekstrim. Pada fase terakhir hidupnya, matahari akan membengkak menjadi raksasa merah, lalu melahap planet-planet terdekat, termasuk Merkurius dan Venus. Bahkan, Bumi juga berisiko terpengaruh, meski ada faktor-faktor yang akan menentukan apakah Bumi selamat dari proses tersebut.
Para ilmuwan, yang dipimpin oleh fisikawan Amornrat Aungwerojwit dari Universitas Naresuan, Thailand, memprediksi bahwa orbit Bumi akan berubah seiring dengan berkurangnya massa Matahari. Perubahan orbit ini bisa menentukan apakah Bumi akan selamat. Jika Bumi berhasil menghindari kehancuran, kondisi planet ini akan berubah drastis. Suhu yang semakin panas akan membuat Bumi tak lagi layak dihuni.
Bumi Menjadi Tak Layak Huni
Sekitar 1 miliar tahun sebelum kematian Matahari, Bumi akan menjadi tempat yang sangat tidak nyaman untuk dihuni. Setiap 1 miliar tahun, kecerahan Matahari akan meningkat sekitar 10 persen, yang menyebabkan pemanasan global yang ekstrem. Lautan akan menguap, atmosfer Bumi akan menjadi terlalu panas untuk mendukung kehidupan, dan kehidupan seperti yang kita kenal akan punah. Bahkan, atmosfer Bumi berisiko terkikis oleh angin Matahari yang semakin besar.
Matahari yang semakin aktif bisa merusak medan magnet yang melindungi planet-planet, termasuk Bumi. Jika angin Matahari terus meningkat, atmosfer Bumi mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi, mempercepat kehancurannya.
Transformasi Matahari Menjadi Katai Putih
Setelah melewati fase raksasa merah, Matahari tidak akan berubah menjadi lubang hitam atau bintang neutron, karena ia tidak memiliki cukup massa untuk itu. Sebaliknya, Matahari akan berevolusi menjadi katai putih, bintang kecil yang sangat padat dan redup. Katai putih menandai tahap akhir dari evolusi bintang bermassa rendah dan menengah. Meskipun kecil, materi dalam katai putih sangat padat—lebih padat daripada materi di mana pun kecuali lubang hitam.
Proses ini akan memakan waktu sangat lama, dan Matahari akan menghabiskan miliaran tahun dalam fase katai putih yang dingin dan redup. Akhirnya, katai putih akan padam dan menjadi benda langit mati, namun tetap menyimpan jejak yang berguna untuk mempelajari sejarah alam semesta.
Katai Putih: Jejak Masa Lalu Alam Semesta
Bintang katai putih juga memberi kontribusi penting dalam penelitian astronomi. Bintang-bintang ini dianggap sebagai “sisa-sisa” bintang purba yang membantu kita menghitung usia alam semesta. Di gugus bintang globular seperti Messier 4, yang berusia sekitar 13 miliar tahun, terdapat banyak bintang katai putih. Menganalisis katai putih ini memungkinkan astronom untuk memperkirakan usia alam semesta, yang diperkirakan berusia sekitar 13,5 miliar tahun.
Kesimpulan: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Meskipun kematian Matahari masih sangat jauh di masa depan, memahami bagaimana bintang seperti Matahari akan berakhir memberi kita wawasan yang lebih dalam tentang siklus hidup alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Meskipun manusia kemungkinan tidak akan ada lagi saat Matahari mencapai akhir hidupnya, penelitian ini mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan kita di tengah luasnya jagat raya.
Dalam 10 miliar tahun, Matahari akan menjalani transformasi besar yang akan mempengaruhi seluruh tata surya. Namun, untuk saat ini, kita masih punya waktu untuk memanfaatkan sumber energi Matahari dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang semakin nyata di Bumi.